HomeSeni & BudayaKearifan Lokal Sedekah Bumi dan Cikal Bakal Desa

Kearifan Lokal Sedekah Bumi dan Cikal Bakal Desa

tribunjepara.com – Masyarakat Jepara, mempunyai tradisi kearifan lokal sedekah bumi. Tradisi ini dilaksanakan turun menurun setiap tahun sesuai dengan weton jatuhnya disetiap desa, meskipun kadang pelaksanaannya berbeda dari weton tersebut. Kearifan lokal sedekah bumi tradisinya menanggap seni wayang, sesuai dengan adat budaya.

Tentang kearifan lokal, Sedekah bumi sendiri perlu dipahami secara spiritual, karena pemahaman tentang sedekah bumi, tidak terlepas dari Danyang, Cikal Bakal, dan Punden.

Kahono Petinggi Desa Kendengsidialit Kec. Welahan, salah satu petinggi yang masih memegang teguh adat budaya kearifan lokal, sedekah bumi.

Kearifan Lokal Sedekah Bumi dan Cikal Bakal Desa

“ Cikal Bakal adalah pendiri desa atau biasa disebut babat alas. Ada beberapa wilayah di mana pada saat babat alas dilakukan, ada yang dilakukan sendirian, ada juga yang dilakukan oleh pasangan suami istri,” tutur Kahono, Rabu 8/10 di kediamannya.

Pada saat itu, ucap Kahono menerangkan,” desa belum ada apapun dan masih dalam kondisi seorang diri. Mereka hidup dari hasil apa yang ada di sana saat itu, tanpa ada pola tanam yang jelas.

Kemudian lanjutnya, Ketika seseorang yang melakukan babat alas memutuskan untuk menetap, berkeluarga, dan lalu memiliki keturunan, itulah yang disebut sebagai cikal bakal,” tutur Kahono sambil meminum kopi pahit kesukaannya.

Sambil terdiam sebentar, lalu Kahono melanjutkan bicara tentang Kepunden. Menurutnya,” kehadiran Kepunden terjadi setelah desa sudah ada. Kepunden merupakan sosok yang memiliki kemampuan lebih di desa tersebut, sehingga dihormati oleh setiap orang sebagai bentuk penghormatan seperti para wali atau para sunan.”

“ Kepunden dikenali dan diperhatikan keberadaannya oleh masyarakat. Kebanyakan Punden berasal dari luar wilayah, sehingga banyak Punden berasal dari berbagai daerah diantaranya Mataram, Bali, Aceh. Asal usul Punden sendiri terlihat jelas dari namanya, yang menjadi ciri khas asal muasalnya,” terang Kahono.

Berbeda dengan Punden, Danyang adalah makhluk yang tak tampak, namun berkuasa di suatu wilayah. Danyang dapat menyerupai manusia, malaikat, setan, atau jin. Danyang dihormati karena dianggap memiliki kekuatan yang luar biasa di wilayahnya. Meskipun berada di alam yang berbeda (Ghaib). Danyang adalah mahluk yang dianggap hebat atau penguasa di suatu wilayah, Danyang sendiri masih hidup hingga saat ini, meski tak kasat mata, sangat di hormati.

Menurutnya, Penghormatan bukan berarti harus menyembah, cukup dengan kita menghargai keberadaan nya, atau dengan cara mengirimkan doa. Salah satunya bentuk penghormatan desa adalah dengan melaksanakan tradisi sedekah bumi, yang telah menjadi adat istiadat dan tidak dapat diubah.

Ia menghormati semua mahluk, termasuk Danyang, setan, jin, dan makhluk halus lainnya, tanpa menuntut orang lain untuk mengikutinya, karena menurutnya Ia mempunyai alasan khusus.

“ Jangan menyombongkan diri, kita harus saling menghormati walaupun dengan yang tak kasat mata sekalipun,” ucap Kahono.

Sambil merapihkan blangkonnya, Pria yang asli kelahiran desa kendengsidialit melanjutkan bicaranya,” sejak zaman dahulu ritual sedekah bumi selalu menampilkan tradisi seni gambus, orkes, ketoprak, dan wayang.

“ Wayang sendiri merupakan warisan tradisi dari Sunan Kalijaga (Walisongo), dimana saat itu masyarakat yang menonton wayang di anjurkan agar berwudhu terlebih dahulu,” tutur Kahono.

Meskipun seni wayang saat ini memiliki sedikit penggemar dan penonton, namun kearifan lokal ini harus terus dikembangkan. Inovasi dalam pewayangan dan peran Dalang dalam menghidupkannya sangatlah penting.” Mari kita menjaga dan melestarikan kearifan lokal budaya, agar tak punah oleh jaman,” pungkas Kahono.(once)

- Advertisement -

spot_img