HomeOpiniPenyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan  (Alternative Dispute Resolution)  Melalui...

Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan  (Alternative Dispute Resolution)  Melalui Proses Mediasi

Oleh : Djoko Tjahyo Purnomo

tribunjepara.com – Secara yuridis keberadaan penyelesaian sengketa melalui mediasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Perkembangan lebih lanjut penyelesaian sengketa secara mediasi di kenal di pengadilan (Court Connected Mediation) yang diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Prinsip-prinsip dasar dalam penyelesaian sengketa secara mediasi baik di pengadilan maupun di luar pengadilan tetap dijalankan, seperti prinsip kerahasian, netralitas, pemberdayaan para pihak, dan hasil mediasi diupayakan mencapai kesepakatan win-win solution.

Terdapat beberapa cara penyelesaian sengketa non-litugasi, salah satunya ialah melalui Mediasi. Ketentuan mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Selanjutnya disebut dengan PERMA No. 1/2016) yang merupakan pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Dalam penyelesaian sengketa, proses mediasi wajib dilakukan terlebih dahulu. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum

Penyelesaian sengketa bisa dilaksanakan melalui proses litigasi maupun proses non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sedangkan penyelesaian melalui non-litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar persidangan atau sering disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa.

Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi bertujuan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral (mediator). Mediator menolong para pihak untuk memahami pandangan para pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi atau keadaan yang sedang berlangsung selama dalam proses perundingan-perundingan.

Jadi mediator harus tetap bersikap netral, selalu membina hubungan baik, berbicara dengan bahasa para pihak, mendengarkan secara aktif menekankan pada keuntungan potensial, meminimalkan perbedaan-perbedaan dan menitikberatkan persamaan-persamaan, yang bertujuan untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas penyelesaian suatu sengketa.

Penggunaan mediasi sebagai bagian dari proses awal penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan merupakan suatu langkah untuk menafsirkan secara praktis perwujudan ketentuan kewajiban hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.

Di samping adanya tuntutan dan kewajiban untuk mendamaikan para pihak bagi hakim pada saat proses penyelesaian perkara di hadapan majelis yang dipraktekkan melalui proses mediasi. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari pula atas beberapa alasan praktis sebagai berikut:

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum.

Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi.

Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah sering kali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator.

Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan RBg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus.

PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.

Dalam proses mediasi, terdapat 3 (tiga) tahapan yaitu:

  1. Tahap pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi dimulai. Pada tahap ini, mediator melakukan beberapa langkah strategis, yaitu membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan para pihak yang bersengketa, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan tujuan, para pihak, serta waktu dan tempat pertemuan, dan menciptakan situasi kondusif bagi kedua belah pihak.

  1. Tahap pelaksanaan mediasi

Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap dimana para pihak yang bersengketa bertemu dan berunding dalam suatu forum. Dalam tahap ini, terdapat beberapa langkah penting, yaitu sambutan dan pendahuluan oleh mediator, presentasi dan pemaparan kondisi-kondisi faktual yang dialami para pihak, mengurutkan dan mengidentifikasi secara tepat permasalahan para pihak, diskusi (negosiasi) masalah-masalah yang disepakati, mencapai alternatif-alternatif penyelesaian, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.

  1. Tahap akhir implementasi mediasi

Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama dalam proses mediasi. Pelaksanaan (implementasi) mediasi umumnya dijalankan oleh para pihak sendiri, tetapi pada beberapa kasus, pelaksanaannya dibantu oleh pihak lain.

Mediasi dengan Itikad Baik

Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan itikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan itikad tidak baik (vide Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1/2016).

Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat dalam Mediasi

Sesuai Pasal 26 PERMA No. 1/2016, dimungkinkan keterlibatan ahli dan Tokoh Masyarakat dalam mediasi. Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu meyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. Para pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi, ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

Tugas Mediator

  1. memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada Para Pihak untuk saling memperkenalkan diri;
  2. menjelaskan maksud, tujuan, dan sifat Mediasi kepada Para Pihak;
  3. menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;
  4. membuat aturan pelaksanaan Mediasi bersama Para Pihak;
  5. menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);
  6. menyusun jadwal Mediasi bersama Para Pihak;
  7. mengisi formulir jadwal mediasi.
  8. memberikan kesempatan kepada Para Pihak untuk menyampaikan PERMAsalahan dan usulan perdamaian;
  9. menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala proritas;
  10. memfasilitasi dan mendorong Para Pihak untuk: menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak; dan bekerja sama mencapai penyelesaian;
  11. membantu Para Pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian;

Hasil Mediasi mencapai kesepakatan

  • Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
  • Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
  • Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik.
  • Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
  • Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
  • Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
  • Mediator wajib melaporkan secara tertulis keberhasilan Mediasi Kepada Hakim Pengawas

    Mediasi Tidak Berhasil/Tidak Dapat Dilaksanakan

Dalam kondisi ini, Mediator wajib menyatakan Mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal:

  1. Para Pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikut perpanjangannya atau
  2. Para Pihak dinyatakan tidak beriktikad baik.

Tempat Penyelenggaraan Mediasi

Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. Jika para pihak memilih penyelenggaraan  mediasi di tempat lain, pembiayaaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.

Kesepakatan di luar Pengadilan

Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatan harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan obyek sengketa.

Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. sesuai kehendak para pihak;
  2. tidak bertentangan dengan hukum;
  3. tidak merugikan pihak ketiga;
  4. dapat dieksekusi;
  5. dengan itikad baik.

 Kekuatan Hukum Hasil Mediasi

Pasal 1858 ayat (1) dan (2) KUHPerdata dan Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg ayat (2) dan (3) yang mengatur perdamaian dan perjanjian perdamaian.

Dalam rumusan Pasal 1858 KUHPerdata disebutkan:

  1. Segala perdamaian di antara para pihak mempunyai suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.
  2. Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan.

Selanjutnya, Pasal 130 HIR/154 RBg ayat (2) dan (3) menyebutkan:

  1. Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang dibuat itu, maka surat (akta) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
  2. Tentang keputusan yang demikian tidak dapat dimintakan banding

Demikian semoga bermanfaat

Referensi:

  1. Reglement Voor de Buitengewesten (RBG), Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927.
  2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB).
  3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
  5. Peraturan Mahkamah Agung  Nomor 01 tahun 2016.

@ Tim Sekber Wartawan Indonesia Kab. Jepara

- Advertisement -

spot_img